Anda sudah selesai membaca sebuah karya tentang studi agraria? Tuliskan kembali ringkasan bacaan Anda dan kirimkan ke : studiagraria@gmail.com. Kami akan memuatnya di situs ini. Dan, mari kita membicarakannya.

Jumat, 28 Januari 2011

LAND REFORM LOKAL A LA NGANDAGAN: Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964

Penyumbang naskah: Ahmad Nashih Luthfi

Penulis: Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luthfi
Editor: Oloan Sitorus
Tahun terbit: Desember 2010
Penerbit: STPN dan Sajogyo Institute
Tebal: 186 hlm



Buku ini merupakan hasil studi “revisit” atas kasus inisiatif land reform lokal di desa Ngandagan, sebuah desa di Jawa Tengah, yang terjadi   pada tahun 1947-1964. Penulis mendiskusikan profil land reform inisiatif lokal tersebut dan mencoba mendalami proses diferensiasi agraria yang terjadi sebagai konteks krisis agraria yang berlangsung. Pelaksanaan land reform di Ngandagan membawa dampak secara sosial-ekonomi yang cukup signifikan terhadap struktur sosio-agraria setempat, serta konfigurasi politik dan keagamaan.

Pelaksanaan land reform inisiatif lokal yang terjadi di Ngandagan dijalankan dengan cara melakukan perubahan sistem kepemilikan, peruntukan, dan pemanfaatan tanah serta perubahan relasi ketenagakerjaan.

Kebijakan land reform itu mengharuskan semua pemilik tanah kulian menyisihkan 90 ubin dari setiap unit tanah kulian yang dikuasainya. Hasil penyisihan ini kemudian dialokasikan untuk sawah buruhan yang dikelola langsung oleh desa untuk diatur pembagiannya di antara warga desa yang tidak memiliki tanah.

Ukuran standar baru unit sawah buruhan ditetapkan seluas 45 ubin, yakni separoh dari ukuran sebelumnya  (90 ubin), sehingga jumlah penerima potensial dari kebijakan redistribusi tanah bisa diperluas. Inilah ukuran batas minimum versi lokal Ngandagan.

Pelaksanaan itu juga dipadukan dengan kebijakan perluasan tanah pertanian (ekstensifikasi) dengan memanfaatkan lahan kering berstatus abseente seluas 11 hektar yang ada di ujung desa. Dihasilkan pula sistem baru berupa skema pembayaran hutang hari kerja di lahan kering yang bermakna sebagai pertukaran tenaga kerja.

Kebijakan desa Ngandagan itu secara sadar diarahkan untuk meruntuhkan basis feodalisme agraris di desa, yakni pola hubungan patronase yang dibangun oleh petani kuli baku dengan buruh kuli-nya. Redistribusi tanah dilakukan tidak seperti pada masa tanam paksa, yakni dalam rangka penyediaan tanah dan mobilisasi tenaga untuk produksi tanaman ekspor, namun sebaliknya secara sadar diarahkan untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan tanah. Hal demikian tidak dapat berlangsung tanpa kepemimpinan kuat seorang lurah bernama Soemotirto yang dinilai legendaris.

Selain land reform, juga ditekankan kembali norma hukum adat yang melarang pelepasan tanah, baik melalui penjualan, penyewaan maupun penggadaiannya kepada orang lain. Semua bentuk transaksi tanah ini dilarang keras baik terhadap penerima sawah buruhan yang memang hanya memiliki hak garap maupun terhadap petani kuli baku sendiri selaku pemilik tanah.

Kebijakan tersebut mampu mencegah kehilangan tanahnya secuil demi secuil (peacemeal dispossession), suatu kondisi yang pernah dialami warga Ngandagan sebelum pelaksanaan land reform. Inovasi baru dalam hubungan produksi diciptakan dalam suatu mekanisme tukar menukar tenaga kerja di antara warga dalam mengerjakan berbagai tahap produksi pertanian. Mekanisme ini disebut sebagai grojogan. Dengan sistem ini semua warga tanpa terkecuali, termasuk pamong desa, akan bekerja di lahan pertanian milik tetangganya. Kultur feodalisme di pedesaan yang barbasis pada penguasaan tanah diruntuhkan melalui mekanisme semacam ini.

Kebijakan agraria desa Ngandagan bukannya tanpa halangan. Ketika Soemotirto melakukan kebijakan konsolidasi tanah pada tahun 1963, yakni melakukan penataan permukiman warganya, maka muncul pertentangan. Ia diperkarakan ke pengadilan kabupaten dengan tuduhan pengambilan tanah tanpa seizin pemiliknya. Posisinya lemah, sebab berbeda dengan penataan terhadap tanah sawah dan lahan kering, terhadap penataan tanah pekarangan dan rumah ini ia tidak memiliki legitimasi kultural dan pembenar dari hukum adat.

Relasi asosiatif politik warga Ngandagan pada Partai Komunis Indonesia dalam pemilu 1955, sebenarnya lebih didahului karena keberhasilan pelaksanaan land reform 1947 dan orientasi pemimpinnya, yakni lurah Soemotrito, daripada sebaliknya. Sampai dengan awal tahun 1960-an, Ngandagan dikenal sebagai “desa RRT di kandang banteng”, artinya PKI di tengah-tengah pengikut PNI. Akan tetapi dengan adanya proses peradilan itu, maka konflik politik di Ngandagan yang semula hanya menyangkut soal dukungan atau penolakan atas redistribusi tanah pekulen dan melibatkan antar elit di lingkup desa, kemudian berkembang menjadi bagian dari kontestasi ideologi di daerah (kabupaten) yang melibatkan unsur politik kepartaian yang bahkan berakibat pada konversi agama.

Meskipun diperkarakannya Soemotrito berakibat pada berakhirnya kekuasaan dia sebagai lurah, sebuah politik perlawanan masih ia lakukan sebelum lengser. Ia memerintahkan warganya yang menjadi pengikut PKI untuk pindah ke partai lain. Sebagian besar warga mengikuti ke mana arah angin berhembus dan lantas memutuskan memilih PNI. Namun Soemotirto sendiri, bersama para pengikutnya, menyatakan sikap anti-PNI mereka dengan memilih Partai Katolik, meskipun dengan risiko menjadi kelompok minoritas agama. Konversi agama ini terjadi sekitar setahun sebelum peristiwa “G 30 S”, dan hal demikian berbeda dengan kondisi di tempat lain yang prosesnya justru terjadi setelah meletusnya peristiwa tersebut.

Berbagai perombakan sistem tenurial dan ketenagakerjaan itulah yang  memberi gambaran sosialisme ala Ngandagan”, suatu “tafsir-dalam-praktik” mengenai cita-cita keadilan sosial di bidang agraria. Inovasi “sosialisme” berbasis adat itu terpangkas prosesnya pada tahun 1963 di level lokal, disusul dengan peristiwa 1965 di level nasional yang menghempaskan Ngandagan dan desa-desa lain secara umum di Indonesia, menuju ke arah yang berbeda.

Kebijakan sosialisme ala Ngandagan adalah hasil dari kombinasi antara revitalisasi dan reinterpretasi hukum adat dalam rangka mewujudkan sistem penguasaan tanah dan hubungan agraria yang lebih adil. Sejarah desa Ngandagan menunjukkan bahwa land reform dilaksanakan dalam kerangka hukum adat serta adanya tafsir dan praktik land reform yang lebih sesuai dengan tuntutan dan kondisi lokal yang berhasil diwujudkan oleh masyarakat desa sendiri.

Jika saja inisiatif progresif semacam itu mendapatkan apresiasi dan dukungan politik semestinya, dan bukan justru diseragamkan, maka betapa banyak alur gelombang emansipasi dari bawah yang dapat diharapkan akan berkembang secara “alamiah”, dan yang pada gilirannya akan turut memperkaya proses formasi sosial dan perkembangan politik bangsa Indonesia secara keseluruhan. [ ]

Komentar tentang buku: 
Sebagai hasil dari suatu “studi ulang” atas sebuah desa yang 63 tahun lalu telah melakukan land reform lokal, buku ini bukan saja memaknai peristiwa itu dalam konteks kekinian dan mewacanakan berbagai perubahan sosial ekonomi dan politik seiring dengan proses perubahan zaman selama sekian tahun itu, tetapi bahkan sekaligus juga mencerminkan usaha kedua penulisnya untuk “berimajinasi sosiologis” dengan merakitkan gejaka lokal tersebut dengan konsep gagasan besar “Sosialisme Indonesia”. Karenanya, buku ini perlu dibaca para generasi muda, peminat sejarah, pengkaji masalah adat, pemerhati, aktifis dan pengambil kebijakan penanganan masalah kemiskinan dan reforma agraria, dan para peminat ilmu sosial secara umum. (Gunawan Wiradi, 2011)

Catatan: Launching buku ini akan dilakukan pada pertengahan Februari 2011

Jumat, 21 Januari 2011

Melampaui Reformasi Agraria


Penyumbang naskah: Francis Wahono, BEc (Hons), Ph.D.

Judul buku : Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto. 
Karya: Ahmad Nashih Luthfi, Amien Tohari dan Tarli Nugroho
Editor: Endriatmo Soetarto
Tahun: 2010
Penerbit: STPN Press & Sains Press Bogor
Tebal: 325 halaman

Pemilihan ahli yang dikaji, sudah mewakili sifat interdisipliner reforma agraria: sejarah (Sartono), kependudukan (Masri) dan ekonomi (Mubyarto). Bulaksumur menandai sentra pemikiran yang tidak harus mewakili UGM, dan selalu sejalan dengan UGM, tetapi jelas tempatnya di Bulaksumur. Penulis berasal dari kalangan intelektual muda yang concern. Seragam sistem pe-outline-nya, bergaya bercerita, enak dibaca, lengkap informasinya (termasuk riwayat hidup dan perjuangan ilmiahnya). Dari sisi ini, buku ini sangat bagus ditulis dan ditampilkan, dan tentunya digarap. Ini nampaknya arahan dan tangan dari editornya.

Kebetulan, atau tidak kebetulan (saya tidak tahu), pereview buku ini kenal secara pribadi dan sekaligus pengagum tokoh-tokoh yang diekspose pemikirannya dalam buku. Mereka terhubungkan dalam lingkaran diskusi dan berkawanan intelektual YAE (Yayasan Agro Ekonomika). YAE adalah gerakan orang-orang “kalah” dengan arus pemerintah yang mencaplok Perhepi (perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia) yang pada awal 1980an masih sangat galak mengkritik kebijakan pemerintah yang salah, maupun mengungkap fakta kemiskinan yang dicoba ditutupi. 

Maka, tepatlah kiranya bila Editor telah memilih judul “pemikiran agraria (maksudnya ALIRAN) Bulaksumur”, yang sekarang masih ada sisa-sisa “laskar pajang”nya: a.l. Susetiawan, Maksum, dan Revrisond. Mereka, sebagaimana pendahulu, juga menjadi atau tepatnya dijadikan “kelompok kritis” di Perguruan Tinggi mereka, dan masyarakat luas. 

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Yang mungkin lepas dari para petinggi PT tersebut adalah bahwa mereka itu cicit dari Prof Iso dan Prof Teko, dua dari profesor pendiri PT tersebut. Lewat Sartono, pengaruh ilmiawan cerdas berpihak dan jaman itu “kiri” prof Wertheim sampai pula ke mereka. Di sisi lain, mereka bergaul akrab dengan D.H. Penny, ilmiawan Australia dari perguruan tinggi Cornell University, yang sangat mendalam faham Jawa dan Sumatera Utara. Tepat editor memberi judul “pemikiran”, karena mereka ini yang membangun komunitas pemikiran, aliran, yang berpihak pada wong cilik. Sejarah a la Sartono bukan sejarah istana-ningrat, tapi sejarah rakyat, pemberontakan di Banten. Seminal paper dan buku Masri, adalah tentang kemiskinan Sriharjo, rakyat kecil. Disertasi Mubyarto tentang politik ekonomi beras, petani kecil, konsumen rakyat. Melestarikan secara menarasikan kembali pemikiran Sartono, Masri dan Mubyarto sama halnya dengan menjaga roh perjuangan keintelektualan pro rakyat kecil, yang hari-hari ini dinegasikan, dipinggirkan, dianggap tiada, disakiti oleh elit Indonesia.

Merdeka dan berdaulat adalah kata-kata juang khas orang tertindas, wong cilik, rakyat kecil. Itulah yang dilantang suarakan oleh Reforma Agraria. Petani gurem, apalagi buruh tani, agar sejahtera, keluarga (dengan jumlah 7) harus mendapatkan tanah subur sawah seukuran 2 hektar. Bila tanah kering, ukurannya dilipat duakan. Itu pula rumus yang dipakai sampai kini oleh transmigrasi, 2 hektar tanah di luar Jawa. Tetapi prakteknya yang 2 hektar itu tidak subur, pun termasuk untuk rumah, pun kadang tak siap ditanami, masih semak belukar atau sisa pohon belum bersih. 

Meskipun negara ini telah memproklamasikan kemerdekaannya, tetapi tanah dan air belum dipunyai rata seukuran 2 hektar tanah subur, ya sama saja dengan bohong. Reforma agraria adalah kewajiban Negara untuk memastikan tiap orang berlandaskan sarana kehidupan yang cukup, yakni tanah dan air. Dan itu tak dapat diserahkan kepada investor, karena mereka adalah yang paling rakus untuk mendapatkan tanah dan air agar usaha mereka yang skala besar (lipat ratusan ribu dari ukuran 2 hektar) dapat berjalan. 

Adalah sebuah ketololan, memprogram usaha/industri skala besar untuk sedikit orang di tengah wong cilik butuh tanah “hanya” 2 hektar agar hidup sejahtera dengan keluarganya. Mestinya Usaha kecil dan menengah, bukan besar dan besar sekali. Maka soal reforma agraria alibinya selalu: kurang tanah, atau rentang konflik sosial dan phisik. Benar tanah terbatas, tetapi tidak seimbang atau sangat jomplang pembagiannya. Bukan saja investor swasta, investor pakai topeng negara (PTP dan BUMN) juga, dijadikan pesaing wong cilik, atau potential petani cilik. Walaupun industrialisasi gaya pabrik telah mencuri anak-anak wong cilik dari desa, namun tetap kunci mengurai kemiskinan dan tiada pekerjaan untuk rakyat adalah reforma agraria yang menyangkut tanah, air dan keanekaragaman hayati. Tapi kunci itu hanya di bibirkan saja, mengapa? Karena dari pemerintah yang satu ke yang lain, kendati sudah didukung mayoritas rakyat, selalu berhitung untuk jangka pendek: mempertahankan kekuasaan, yang mudah ya dengan konglomerat. 

Mengapa Bolivia dengan Ivo Moralesnya untuk perdesaan, bisa, Lula da Silva dari Brazilia untuk urban, bisa; presiden dan parlemen kita tidak? Karena tak berani? Karena tak niat? Karena tidak pernah bersekolah dan berkomunitas intelektual aliran Pemikiran Agraria Bulaksumur. Mestinya buku ini dan buku sekeprihatinan seperti yang ditulis Gunawan Wiradi, dicetak jutaan dan disebar ajarkan lewat Universitas, minimal juruan pertanian, ekonomi, sosiologi, sejarah, anthropologi, teknologi, bahkan sastra dan kedokteran, hukum dan politik. 

Dalam 10 tahun saya yakin, ada kemajuan dengan pelaksanaan reforma agraria. Artinya, tentang Reforma Agraria, kita harus bergerak untuk melampuai-nya, yakni lewat pendidikan tidak tanggung-tanggung. Karena kita hanya dapat berharap pada generasi muda, generasi ini sudah begitu terkontaminasi dan parah moral dan tabiat tindakannya: rakus harta dan kedudukan tiada tara. Sulit dipertobatkannya, kecuali ditunggu pikun dan matinya, seraya mempersiapkan generasi yang sesedikit mungkin bebas kontaminasi.

Selain itu, “melampuai” reforma agraria, is harus selalu dimasukkan dalam kanvas konteks luas tetapi mengena pada hati masyarakat khususnya petani dan calon petani, juga pengusaha kecil menengah. Itu dengan cantik dan komprehensif dilakukan oleh Mochammad Tauchid dengan buku tebal “Masalah Agraria” yang juga telah diterbitkan ulang oleh STPN Press. Dalam hal ini, STPN sungguh serius dalam mengadakan pendidikan calon-calon  petugas administrasi pertanahan. Sayang urusan Reforma Agraria seolah hanya diserahkan pada Badan Pertanahan Nasional. Padahal harusnya dikelola sebagai politik mainstream dari negara, dengan seluruh aparatnya. 

Sebagaimana digali dan dijelaskan panjang lebar oleh Tauchid, Reforma Agraria (yang dicita-citakan, itu karena bukunya menjadi semacam teks akademik untuk UUPA 1960) menjadi tumpuhan kehidupan rakyat Indonesia merdeka maupun kemakmurannya. Tanpa itu, percuma semua usaha pengentasan kemiskinan. Karena akar kemiskinan justru karena yang kerja di sektor pertanian, masyarakat hidup dari hutan, nelayan di pesisir, pekebun di gunung-gunung, pemelihara ternak dan perikanan di desa-desa, tidak mendapatkan akses tanah yang cukup untuk dijadikan sarana kerja merealisasikan potensinya dan menjadi gantungan hidup keluarga. Ceritanya, lantas mereka dan anak-anak rakyat jelata terpaksa terlempar ke kota maupun jadi TKI/TKW (batur) di negeri orang, dengan paket kemungkinan besar diterlantar dan tersia-sia.

Rencana dan kebijakan serta praktek pembangunan tidak pernah didesain serius dan sungguh-sungguh untuk ke sana.

Ada satu catatan yang mengusik saya, yakni mencari benang merah, alur penghubung antara satu pemikiran tokoh dengan yang lainnya. Maksudnya, bagaimana secara coherent informasi mengenai kepemikiran 3 tokoh Bulaksumur itu dapat disusun sebagai sebuah teori besar. Teori mana dapat menjadi landasan menaruh, memberi arah, membuat relevan bagi reforma agraria. Itulah nampaknya PR (pekerjaan rumah) yang harus dikerjakan paska penerbitan buku itu. Yang satu dari disiplin sejarah, yang lain dari disiplin anthropologi demografi, yang lainnya lagi dari disiplin ekonomi. Selanjutnya perriview hendak mencoba membikin kerangka logis dari ke-3 pemikir.

Dari sudut sejarah. Pada mulanya adalah kerakusan penjajah, sebagaimana nasehat Karl Marx, yang kira-kira begini rumus sederhananya: kuasailah sarana produksi, maka kamu kuasai manusianya. Orang salah duga bahwa tujuan kapitalisme termasuk kolonialisme adalah menguasai harta semakin banyak. Salah. Tujuan kapitalisme adalah menguasai manusianya, in the end of the game. Bahwa harus menguasai harta, itu hanya sebagai sarana ke tujuan akhir. Sartono menangkap ini sangat baik dan jeli. Sejarah mainstream (tentu dari Barat) adalah sejarah elite, raja-raja, para tuan tanah, para industriawan, para pedagang, para birokrat dan cendekia. Yang punya dan menulis sejarah adalah lapisan atas ini. Manusia  sadar sejarah, sadar eksistensinya dan arah hidupnya, wajar menguasai manusia tak bersejarah. Karena tak bersejarah, maka juga tak punya legitimasi menguasai harta, termasuk dunia ini. Sejak dosa Adam dan Hawa, manusia mau menguasai yang lain, bahkan Gusti Allah. 

Jalan kapitalisme adalah jalan serakah, bahkan sesama manusia dikuasainyia. Insting membudakkan yang lain selalu di sana. Setelah Adam, sejarah saling menguasai berlangsung terus: Ismail dan Ishak, Esau dan Jacob, Ruben dkk vs Yusup, akhirnya Palestina dan Israel. Itulah kalau sejarah adalah sejarah istana, sejarah raja, sejarah yang menang. Sartono faham dasar pemikiran dan sekaligus keyakinan itu, dia pernah menjadi biarawan katholik, bruder. Maka, sebagai murid Wertheim, yang amat fasih tulisan-tulisan Marxian, faham akan culas Kapitalisme, ia menulis sejarah dari sisi orang yang kalah, orang kecil, serajah rakyat yang terpinggirkan. 

The history should be turn upside down, begitu motto pensejarah populis atau Marxian di Eropa kala Sartono menulis disertasi dan berkutat dengan tekun di perpustakaan.  Kendati jadi cendekiawan, akhirnya, kaliber dunia, namun darah anak desa yang dari bawah kariernya sebagai guru tetap dibawanya dan menjiwai cara pandang dan isi cerita sejarahnya. Kata pepatah: ia tidak lupa akan akarnya. Galibnya, justru karena menulis tentang pemberontakan (perang), sejarah Sartono adalah proposal damai.

Kesadaran mendalam tentang perang dan akibatnya yang mengorbankan wong cilik, menjadi pemacu mengusulkan penyelesaian tata damai. Jawa, tanah air Jawa, adalah dari segi macam tanaman saja, sudah menjadi barang perebutan antara tanaman pangan (khususnya padi dan polowija) dengan tanaman ekspor (khususnya gula dan indigo). Berebut dalam satu petak petani kecil, antara padi dan gula. Airnya pun diperebutkan. 

Dualisme sosial, kata Boeke, adalah akar dari dualisme ekonomi dan teknologi. Kendati yang menampak di permukaan adalah persaingan antara padi dan gula, yang ada di aras bawah, subaltern, adalah persaingan antara kelas (hubungan sosial manusia) yang kalah dan menang. Wong cilik yang digerogoti terus dan Wong gede (kaum kolonial lewat birokrasi raja dan kapitan cina). 

Membalikkan tata, struktur, kapitalis feodal, dilakukan yang paling tepat, melalui pembagian merata atas the means of production, tanah dan air atau lebih luas sumber-sumber agraria. Penyelesaian penindasan, ketidak adilan dan perang, diganti dengan penyelesaian damai: tanah air dan sumber agraria lain di-sama-ratakan hingga cukup untuk hidup keluarga petani dengan anggota tujuh orang (UUPA 1960). 

Jadi, dalam buku kompilasi 3 tokoh Bulaksumur ini, karya-karya pemikiran Sartono menyediakan filosofi kesejarahan reforma agraria. Reforma agraria yang hendaknya terjadi harus dilandasi filosofi kesejarahan a la Sartono. Ketakutan sementara orang bahwa reforma agraria hanya akan menimbulkan konflik sosial, tidak berdasar. Justru sebaliknya, bila negara dan bangsa ini hendak damai, dengan sistem demokrasi substansial kerakyatan (amanat UUD 1945), pada masa-masa mendatang: reforma agraria dengan semangat UUPA 1960 dan UUD 1945 harus dijalankan. Kalau tidak negara akan selalu goyah, bangsa akan selalu terancam ketidakcukupan pangan dan pekerjaan.

Bagaimana dengan sudut anthropologi demografi (lebih cocok untuk Masri, bukan “grafi” , tapi “logi”, bukan angka kuantitas tapi kualitas ternalar), Masri memasukkan roh anthropologi, ilmu manusia, ke dalam discursus demografi yang cenderung kering tampilan angka-angka, cenderung mereduksi manusia dan anaknya, perempuan dan rumah tangganya ke dalam barang dapat dihitung dan tanpa sentuhan rasa hormat. 

Ilmu manusia itulah yang membuat Keluarga Berencana tidak sekedar bertujuan mengurangi jumlah mulut manusia vis a vis ketersediaan pangan; melain berparadigma meningkatkan harkat manusia, hingga performa mulut berkurang hanya sebagai akibat, bila itu pun harus, dari keluarnya orang dari jerat kemiskinan dan jurang kebodohan. 

Bila Masri bertutur tentang Keluarga Berencana, pertama-tama ia berbicara mengenai manusia. Manusia yang miskin dan harus dibuat cukup dengan sarana-sarana akses tanah air dan akses pasar serta modal dan pendidikan pengetahuan serta teknologi. Politik KB harus menjadi politik memanusiakan manusia. Maka tampilah Sriharjo yang diikuti juga tidak hanya dengan kemiskinan tetapi peranan pekarangan, di mana sumber hayati tersembunyi banyak kali dilupakan. Itu tentu mengingatkan kita pada penelitian Ochse and Terra di Kutawinangun tahun 1927 tentang peran pekarangan dan tetumbuhannya dalam menjamin kecukupan gizi keluarga.

Bagaimana dengan sudut ekonomi, itulah bagian dari Mubyarto. Mubyarto, sama seperti gurunya Sartono dan sobatnya Masri, bermula dari pendekatan ekonomi a la EF. Schumacher, “as if people mattered”. Baginya itu ekonomi Pancasila, ekonomi bermoral dan berkeadilan. Bahwa dia mulai dari beras tak lain karena pembimbing dan pengalaman anak desanya, orang kekurangan beras. Tetapi bagi petani produksi pangan termasuk beras adalah juga pekerjaan selain pendapatan, keadilan selain pengentasan kemiskinan. Maka dia sangat mengagumi JH. Boeke, yang melihat ekonomi Indonesia, bukan sekedar ditentukan oleh faktor bisnis, tetapi juga sosial. 

Dualisme Sosial, itu kata Boeke. Itu yang menjadi akar adanya dualisme modal, dualisme daerah, dualisme teknologi dlsb. Agenda jelas Mubyarto adalah menciptakan peluang kerja. Baik itu bertani dengan tanah dan air yang cukup maupun mengentasan kemiskinan dengan model kantong daerah miskin adalah untuk menciptakan peluang kerja. Hanya dengan bekerja, penambahan income itu berharkat manusia. Untuk kerja pula reforma agraria harus terjadi, meskipun pada bagian ini dia tidak begitu progresif, mungkin melihat fakta “agak sulit pada jaman Orde Baru”.

Ketiga penulis, secara pribadi, meninggalkan Pekerjaan Rumah atau tepatnya agenda bagi penulis review ini. Prof Sartono mengusulkan saya untuk mencari tahu lebih jauh “phenomenon lurah beras dari Klaten”, ketika sepintas mengomentari disertasi saya. Prof. Masri mendukung saya untuk mendampingi teman-teman Dayak mendirikan Institute Dayakologi dan Credit Union Modern, ketika bersama-sama dalam Konferensi Ekonomi Kerakyatan di Kalimantan Barat dua puluh tahun lalu. Prof Mubyarto berpesan kepada saya “kalau hendak mempelajari JH Boeke, jangan tanggung-tanggung, total” ketika saya mohon restu untuk memulai disertasi saya yang dibimbing oleh guru saya Kenneth D. Thomas dan Sajogyo.

Maka terimakasihku pada para inisiator dan membuat buku cantik ini, yang telah lebih memudahkan saya di masa mendatang melaksanakan agenda dari para senior kami ini. 

Proficiat, selamat membaca dan mencamkan.

Catatan Pengelola: 
*Francis Wahono adalah Direktur Yacitra (Yayasan Cindelaras Paritrana), sebuah LSM lokal di Yogyakarta dan Dosen Program MM Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa, Yogyakarta
*Tulisan ini pernah didiskusikan dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku dalam rangka HUT UUPA di STPN Yogyakarta 16 Desember 2010 lalu.

Selasa, 18 Januari 2011

Kembali Ke Agraria: Jelas Dalam Maksud, Samar Dalam Langkah

Penyumbang naskah: Dadang Juliantara

Judul Buku: Kembali Ke Agraria
Karya: Usep Setiawan
Tebal buku: 481 halaman
Tahun terbit: 2010
Penerbit: KPA, Sains, STPN

Bukan perkara mudah mengupas sebuah karya dari tokoh pergerakan, seperti buku Kembali Ke Agraria (2010), karya dari Usep Setiawan. Pertama, seorang aktivis atau bahkan seorang tokoh pergerakan, ketika menulis, dapat dipastikan bukan menulis untuk kepentingan dirinya sendiri. Bukan menulis untuk suatu tendensi akademi, ataupun untuk meningkatkan kualitas intelektual.  Kedua, ketika seorang tokoh pergerakan menulis, dapat dipastikan bahwa tulisannya tidak akan lepas dari kepentingan kampanye (p.476), atau mensosialisasikan gagasan-gagasan perubahan, sesuai dengan misi yang diembannya.

Oleh sebab itu, dengan mudah dapat dirasakan adanya aroma emosi atau dominannya nalar-nurani, yang menuntun kata demi kata dalam membangun argumentasi. Bukan hanya itu, tulisan aktivis, dapat masuk dalam kategori dokumen perjuangan, yang dengan demikian selain memuat makna sebagaimana yang tersurat, pastilah memuat pula makna yang tersirat, atau bahkan sebagai sebuah strategi.

Artinya, mengupas karya tokoh pergerakan, apabila tidak hati-hati, akan sangat mungkin keliru dalam maksud.

Dalam ketidakmudahan itulah ulasan ini disusun. Apa yang akan diungkapkan di sini tentu bukan jenis ulasan rinci, melainkan juga merefleksi terhadap gerakan pembaruan agraria.

Judul buku ini sendiri sangat menarik untuk menjadi titik tolak refleksi terhadap gerakan agraria dalam dua dasa warsa terakhir.

Sebagai sebuah kesaksian dan pandangan naskah buku yang terdiri dari 103 tema yang ditulis sepanjang 10 tahun (2000 s.d. 2010, minus tahun 2001) ini kaya informasi, baik menyangkut kondisi rakyat, gerakan pembaruan agraria dan kebijakan agraria.

Tidak seperti epilog yang ditulis oleh Dianto Bachriadi yang mempersoalkan tidak adanya ulasan yang tuntas (p.468) dan jelas (p.470), khususnya mengenai tema reforma agraria, ulasan ini justru melihat bahwa Usep sesungguhnya sedang menunjukan kompleksitas agenda reforma agraria, terutama jika dihadapkan pada persoalan masyarakat dan negara.  Dengan membaca dengan cara yang berbeda, barangkali kita akan dapat menemukan jawaban: mengapa reforma agraria yang telah sangat jelas dan sangat kuat dasar hukumnya, tetap tidak dapat menjadi gerak nyata untuk mengubah ketimpangan struktur agraria dan menggerakkan pembangunan yang mensejahterakan dan memakmurkan rakyat Indonesia.

Mengapa Usep (harus) memberi judul Kembali Ke Agraria? Kemana arah ajakan ini? Apakah mengajak kembali pribadi-pribadi yang menjadi pemulai gerakan agraria dimana Usep pada mulanya hanya diajak (p.463)?

Ataukah mengajak institusi - dalam hal ini KPA - agar kembali ke medan perjuangannya dengan intensitas yang lebih (pengorganisasian petani, menggerakkan aksi-aksi protes, dan berbagai aktivitas memperbesar arus bawah reforma agraria)?

Ataukah mengajak gerakan agraria secara keseluruhan untuk kembali kepada rute yang benar, yakni rute yang memberikan kepastian pada tata ulang struktur agraria yang timpang menuju keadilan agraria, dimana pribadi, institusi dan massa rakyat secara keseluruhan, termasuk negara, menjadi bagian daripadanya.

Saya menafsirkan arah ajakan Usep kepada gerakan agraria. Ini sebagaimana terungkap dalam bagian Sekapur Sirih, yang menyatakan: Reforma agraria ialah agenda bangsa, bukan kepentingan satu-dua kelompok semata (p.x).

Nah, jika memang ajakannya demikian, maka menjadi relevan apabila pertanyaan lama yang kerap saya ajukan kembali dimunculkan, yakni: Mengapa RA tidak kunjung diwujudkan sebagaimana maksudnya yang sudah sangat jelas?

Nampaknya, dalam buku ini, Usep tidak berada dalam posisi menjawab pertanyaan tersebut, ia hanya menuliskan: “…Semoga buku ini menginspirasi kita agar berbuat nyata demi terlaksananya Reforma Agraria sejati di negeri tercinta.” (p.xiv). Jika sekedar memberi inspirasi, mengapa Usep tidak membiarkan imajinasi pembaca berkembang luas, dan menguncinya dengan “kembali ke agraria”?

Dalam buku ini, secara umum, Usep menampilkan dua hal pokok, yakni:  (1) melakukan kritik, gugatan atau keberatan, baik terhadap konsepsi ataupun program yang diluncurkan oleh pemerintah, yang dipandang tidak sejalan dengan semangat (untuk mewujudkan) reforma agraria; dan (2) memberikan usulan, berupa pandangan-pandangan kritis, yang dituntun oleh nalar reforma agraria. Barangkali Usep hendak menyodorkan kesaksiannya untuk disusun menjadi suatu peta, yang dapat membantu menjawab pertanyaan awal saya tadi.

Setelah membaca buku ini saya menafsirkan adanya dua hal pokok yang menjadi faktor penyebabnya:

Pertama, apa yang ingin disebut ulasan ini sebagai “jebakan perubahan kebijakan”.

Dari gambaran umum yang termuat dalam kata pengantar (sekapur sirih) dari US, juga dalam prolog dan epilog, kita akan mendapati suatu realitas bahwa pada periode sebelum reformasi, fokus gerakan agraria lebih ke bawah, bersentuhan langsung dengan kehidupan massa rakyat tani, mengenali tantangan mereka dan terutama bersama mereka mengorganisasi diri melawan ketidakadilan berupa perampasan tanah rakyat. Reformasi, meskipun dikatakan sebagai koreksi terhadap praktek kekuasaan rejim Orba, namun dalam kenyataan masih banyak kasus-kasus Orba yang terulang seperti kasus Pasuruan, Bulukumba, dan beberapa yang lain. Dan, dalam kenyataan para aktivis gerakan pembaruan agraria, dimana KPA menjadi salah satu aktornya, aktivitas pengorganisasian masih terus berlangsung. Yang membedakan adalah bahwa di bawah rejim totaliter Orde Baru, gerakan reformasi agraria tidak pernah bermimpi melakukan perubahan kebijakan, yang ada dalam benak gerakan adalah bertahan dan menghalau mereka yang ingin menyerobot tanah rakyat.

Paska reformasi, gerakan Reformasi Agraria seperti mendapatkan angin baru: ruang kesempatan baru yang berarti pula suatu kompleksitas baru. Harus diakui bahwa di kalangan aktivis, gerakan RA terbelah: dua, tiga atau bahkan lebih. Secara umum, mereka  terbagi dalam dua pandangan, yakni:

1) Mereka yang menganggap dan berkeyakinan bahwa perubahan sebagaimana yang dimaksud gerakan RA, belumlah terjadi. Mereka yang terlibat dalam proses pembentukan TAP MPR No.IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, tentu akan merasakan suasana politik pembelahan tersebut. Di lapangan, pembelahan memperlihatkan kualitas yang lebih buram – yang ditandai dengan sikap-sikap yang kurang konstruktif bagi keutuhan gerakan agraria. Tidak jarang mereka yang di seberang disebut sebagai kolaborator, dan sejenisnya, yang lebih ingin menunjukan bahwa pilihan yang diambil bukanlah pilihan yang tepat bagi masa depan gerakan agraria

2) Mereka yang menganggap bahwa ruang kesempatan memang telah terbuka, dan kesempatan tersebut harus dimanfaatkan. Dengan pilihan ini, para aktivis mengalir dalam lintasan perubahan kebijakan, terlibat sangat aktif dalam berbagai forum, berdiskusi dengan kalangan yang lebih luas, dan tentu berkenalan dengan banyak pengetahuan baru, di luar pengetahuan tentang bagaimana mengorganisasi rakyat melawan perampas tanah. Bukan hanya itu, para aktivis yang ada di jalur ini juga mulai berkenalan dengan ketrampilan-ketrampilan baru, dan kosa kata yang baru. Pada akhirnya yang ditemui adalah sebuah rimba raya baru, rimba kebijakan dengan berbagai aturan perundang-undangannya.

Dalam batas tertentu, meskipun terjadi pembelahan, namun arus untuk masuk dan memainkan ruang kesempatan, terus menguat – sebagian besar energi gerakan tercurah.

Bila di masa Orba, energi gerakan lebih tercurah untuk kepentingan pembelaan langsung terhadap kasus-kasus yang dihadapi petani, di masa reformasi, energi gerakan relatif tercurah untuk kepentingan memperjuangkan kebijakan baru atau melawan kebijakan lama – seperti dalam kasus kebijakan mengenai sumber daya air (p.76), penanaman modal (288), dan berbagai kebijakan pertanian.

Bukan hanya itu, energi gerakan juga mulai memasuki arena politik praktis dan formal, seperti memanfaatkan pemilu 2004 (p.122) dan 2009 (p.397) – berharap presiden terpilih memasukan agenda pembaruan agraria dalam visi misinya.

Apa yang menarik dan penting dari keseluruhan proses ini adalah: (1) telah terwujudnya perubahan kebijakan sebagaimana yang diharapkan seperti keluarnya TAP MPR No.IX/MPR-RI/2001 dan masuknya agenda reforma agraria dalam visi misi Presiden; (2) reforma agraria kini menjadi wacana publik dengan keterlibatan media massa; (3) sayangnya, kendati kesempatan makin terbuka, suara aktivis reforma agraria dan penuntasan kasus-kasus agraria sesungguhnya masih belum banyak beranjak.

Meski begitu, saya berpendapat hampir semua tema tulisan Usep yang dibuat mulai tahun 2000 sampai 2010 tetap kritis. Setidaknya, mereka senantiasa mengusung pertanyaan lama saya.

Saya mempunyai dugaan lain bahwa Usep sebenarnya hendak mengatakan bahwa para aktivis gerakan agraria (khususnya mereka yang mengambil jalur memanfaatkan ruang kesempatan reform) itu kini seperti memasuki dunia lain. Sebuah dunia yang tidak semua lokasinya dikenali dengan baik. Akibatnya, reforma agraria hanya berkutat dari satu argumen ke argumen lain. Atau, bahkan ia menjadi kompleks di tataran teknis, terutama menyangkut penentuan subyek, obyek reformasi, serta daya dukung apa yang harus diberikan agar pada paska reformasi tidak terjadi pasar jual beli tanah.

Nah, yang tidak terelakkan lagi adalah gerak waktu yang terus melaju dan belum membawa serta reforma agraria dalam maksud yang sebenarnya. Saya tidak mengatakan bahwa gerakan agraria telah kehilangan arah, melainkan ia terjebak dalam ruang kesempatan tersebut. Dan kini Usep tengah berusaha untuk mengajak kita agar: Kembali Ke Agraria.

Kedua, ketika Usep menampilkan ulasan mengenai perlunya seorang presiden yang pro reforma agraria dan UUPA 1960 (p.118), serta ungkapan kejengkelan atas berbagai kebijakan yang berpotensi merugikan rakyat, termasuk kasus-kasus yang melukai rasa keadilan rakyat, maka sebetulnya Usep sedang berbicara tentang “watak kekuasaan”.

Dari ulasan mengenai modal, pasar, dan korporasi yang merampas tanah rakyat, nampak sekali Usep hendak mengatakan bahwa selama pemegang kekuasan politik tidak berubah dalam watak, maka selamanya reforma agraria hanya sekedar menjadi ide. Karena itu Usep bercerita bahwa “…Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji akan mulai menjalankan reforma agrarian (31/1/2007). (Namun) Hingga kini, belum terwujud. Dari segi momentum, reforma agraria dikhawatirkan kian memudar. Memudarnya rencana reforma agraria, terkait ketidaktegasan kepemimpinan politik nasional dalam mengarahkan reforma agraria. Tidak solidnya jajaran pemerintahan pusat dan daerah, melambatkan agenda besar ini..” (p.p.376).

Pada titik inilah, barangkali dapat dikatakan bahwa realisasi reforma agraria sesungguhnya bergantung pada pemegang kekuasaan politik. Dan ketika pemegang kekuasaan benar-benar menjadikan reforma agraria sebagai agenda utama, maka dengan sendirinya pelaksanaannya akan dipercepat, sebagaimana watak dari reforma agraria sendiri yang adalah suatu jenis operasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Gunawan Wiradi bahwa ... semua itu masalahnya adalah kemauan, kepastian dan kejujuran.” (1984).

Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: apakah gerakan agraria benar-benar memahami masalah ini, dan bergerak menuju jantung utamanya, ataukah sebaliknya, sehingga berputar dalam langkah yang mungkin belum tentu mencapai reforma agraria sebagaimana dimaksudkannya. Barangkali karena ini pula, maka Usep mengajak untuk: Kembali Ke Agraria.

Kesaksian US selama 10 tahun yang termuat dalam buku ditutup dengan kata akhir dalam bukunya: “…saatnya kita bekerja nyata menyediakan syarat sosial, ekonomi dan politik, yang memungkinkan rakyat lepas dari kemiskinan dan kelaparan melalui pelaksanaan reforma agraria sejati…” (p.460).

Tentu saja kita sepakat dengan ajakan tersebut, namun yang menjadi pertanyaan, benarkah belum cukup tersedia syarat bagi reforma agraria? Kita bisa berbeda pandangan.

Dalam banyak kesempatan saya pernah mengajukan argumen: Pertama, bahwa bangsa Indonesia, pada 17-8-1945, telah membuat langkah sejarah, yakni memproklamasikan diri, menjadi bangsa merdeka. Dalam konteks politik agraria, saya ingin menafsirkan bahwa proklamasi, merupakan bentuk ”prakarsa rakyat”, untuk mendapatkan kembali hak-nya atas seluruh sumber-sumber agraria, dengan cara merebut (kembali) dari penguasaan kolonial. Proklamasi memuat tiga hal sekaligus, yakni: (1) argumentasi; (2) jalan (strategi); dan (3) tujuan, yang dalam hal ini menempatkan proklamasi sebagai pintu untuk mendapatkan kembali bumi, air dan seluruh kekayaan yang terkandung untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kedua, konstitusi nasional, dalam bagian pembukaan menegaskan bahwa pembentukan pemerintah Negara Indonesia, ditujukan untuk: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia: (2) memajukan kesejahteraan umum; dan (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia. Selanjutnya, dalam Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial, pasal 33, ayat 3, dituliskan, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Apa yang tampak dari pernyataan konstitusi tersebut? Yakni: (1) sangat tegas bahwa negara ini dibentuk dengan suatu tujuan yang mulia, bukan sekedar membebaskan dari belenggu penjajahan, namun menjadikan kebebasan tersebut sebagai jalan untuk membangun kehidupan baru: adil dan makmur; (2) kekayaan ”bumi” Indonesia adalah milik rakyat Indonesia, yang harus dapat menciptakan kemakmuran rakyat; dan (3) pemerintah Negara Indonesia mengemban mandat (konstitusi) untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut.

Ketiga, terbitnya UUPA tahun 1960 (lima belas tahun setelah proklamasi), yang dapat diartikan sebagai jalan mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Presiden Soekarno dalam Amanat Presiden pada 17 Agustus 1960, menjelaskan bahwa ”perombakan hak tanah dan penggunaan tanah, agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara, dan khususnya taraf hidup tani meninggi dan taraf hidup rakyat jelata meningkat.” UUPA dengan demikian  menegaskan mengenai apa yang belum dilakukan dan apa yang harus segera dilaksanakan. UUPA juga menjadi bukti tingginya komitmen untuk menjalankan konstitusi, terutama untuk segera mentransformasi struktur kolonial menjadi struktur nasional. Bukan sekedar komitmen di atas kertas. Kita pernah menjalankannya.

Joyo Winoto, Ketua Badan Pertanahan Nasional, dalam beberapa kesempatan menegaskan bahwa sesungguhnya dari segi kebijakan dan komitmen, negeri ini telah memiliki cukup syarat yang dibutuhkan, untuk menjalankan reforma agraria. Dan barangkali di sinilah makna hakiki dari pesan Gunawan Wiradi yang dikutip di awal tulisan ini.

Dengan demikian ajakan Usep menjadi sangat penting. Bukan untuk meningkatkan kemampuan dan daya kaji kita. Bukan pula untuk meningkatkan kemampuan kita dalam memperjuangkan reformasi kebijakan. Melainkan meningkatkan upaya-upaya yang sedemikian rupa mengubah watak pemegang kekuasaan politik, agar sejalan dengan kepentingan reforma agraria.

Saya yakin Usep tidak berhenti pada sekedar “ajakan”, tetapi justru akan memperhebat langkah, sehingga Kembali Ke Agraria menjadi pukul gong penanda datangnya gelombang baru gerakan reforma agraria, yang jelas dalam maksud, jelas dalam bentuk dan jelas dalam hasilnya.

Catatan Pengelola:
* Dadang Juliantara adalah aktivis organisasi non-pemerintah dan penulis, tinggal di Yogyakarta. Ia menekuni kajian demokrasi, desentralisasi, perubahan agraria dan gerakan sosial.
* Naskah asli dari tulisan ini telah didiskusikan dalam salah satu rangkaian acara Peringatan Ulang Tahun Emas UU Pokok Agraria di STPN Yogyakarta yang merupakan kerjasama antara STPN-Yogyakarta dan Sajogya Institute-Bogor pada 16 Desember 2010.